Beranda | Artikel
Akal Harus Mengikuti Dalil
Rabu, 9 Januari 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Muhammad Nur Ihsan

Akal Harus Mengikuti Dalil merupakan rekaman kajian Islam yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A. dalam pembahasan Syarah Aqidah Thahawiyah karya Imam Ath-Thahawi rahimahullah. Kajian ini disampaikan pada 20 Rabbi’ul Tsani 1440 H / 14 Desember 2018 M.

Status Program Kajian Kitab Syarah Aqidah Thahawiyah

Status program Kajian Syarah Aqidah Thahawiyah: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Jum`at pagi, pukul 06:00 - 07:30 WIB.

Download kajian sebelumnya: Ahlussunnah Meyakini Adanya Nikmat Melihat Allah

Kajian Tentang Akal Harus Mengikuti Dalil – Syarah Aqidah Thahawiyah

Aqidah yang merupakan modal utama dalam kehidupan kita, aqidah yang merupakan bekal yang paling utama untuk menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Terutama dizaman-zaman bergejolaknya berbagai fitnah. Fitnah pemikiran yang juga disertai dengan syubhat dan syahwat.

Bila seseorang tidak mengenal aqidah yang benar, dia terombang-ambing, dia akan kebingungan dan tidak memiliki pegangan hidup. Fakta, realita, fenomena dimasyarakat, bukan dikalangan orang-orang awam saja. Akan tetapi dikalangan para akademisi, para orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Ilmu.

Kita melihat dan mendengar berbagai pernyataan-pernyataan yang menjelaskan akan kebingungan yang ada dalam hatinya. Keraguan terhadap aqidah dan agamanya. Dahulunya dia menghalalkan, kemudian sekarang mengharamkan. Dahulunya dia mengharamkan segala menghalalkan. Kenapa terjadi kebingungan dan kebimbangan seperti itu? Tiada lain kecuali dia tidak memiliki pegangan yang kuat didalam beragama.

Maka dari sini dan melihat fenomena seperti itu dan realita yang nyata dalam kehidupan kita, maka sudah seyogyanya, sudah seharusnya, bahkan merupakan kewajiban bagi kita mempelajari aqidah.

Pembahasan kita sebelumnya tentang aqidah Thahawiyyah berkaitan dengan melihat wajah Allah pada hari akhirat kelak yaitu di dalam surga. Dan itu merupakan kenikmatan yang sangat mulia bagi orang-orang yang beriman di dalam surga kelak. Dan haditsnya mutawatir, bahkan ayat telah terdapat dalam Al-Qur’an, ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal itu.

Semua hal itu telah kita jelaskan, kita telah sampaikan dalilnya. Dan tidak boleh takwil sebagaimana aqidah Ahlussunnah. Berbeda dengan aqidah Ahlul Kalam.

Oleh karena itu kata Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah, kita tidak boleh masuk ke dalam pembahasan tersebut yaitu dengan mentakwil, menyelewengkan makna-makna dari nash-nash, dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits tersebut. Dan juga tidak boleh kita menerka-nerka, mengira-ngira, tapi harus dengan keyakinan bahwa Al-Qur’an benar, hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga benar wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala dan hadits tentang hal itu mutawatir. Dan para sahabat telah mengimaninya, meyakininya, menerimanya, tidak seorangpun yang mentakwil, tidak seorangpun yang menerka-nerka maknanya. Karena itulah bukti keimanan kepada Allah, keimanan pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kita harus pasrah kepada perkataan Allah dan perkataan Rasul. Kita harus pasrah dan berserah diri kepada keputusan Allah dan keputusan Rasul. Kita harus memahami Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah dan yang diinginkan oleh Rasul. Jangan kita fahami ayat-ayat Al-Qur’an, jangan kita fahami hadits-hadits Rasul sesuai dengan selera hawa nafsu atau keinginan kita. Ini sumber kesesatan. Maka sebagaimana yang disampaikan tadi, tidak heran dizaman sekarang ini tatkala muncul berbagai kesesatan pemikiran, pernyataan, fatwa yang tidak beralasan sama sekali yang menghalalkan hal-hal yang jelas haramnya.

Kenapa dia mengambil satu ayat, satu hadits, kemudian dia menerka-nerka maknanya, kemudian dia hanya beranalogi dengan akal semata? Dia ingin mencocokkan makna tersebut dengan keinginannya atau pesanan dari pihak lain lalu dia cocok-cocokan, dipaksakan. Yang terjadi adalah kontradiksi, pertentangan, kebatilan, penyimpangan, keraguan dan kebatilan. Itu akibat masuk ke dalam perkara yang hanya berlandaskan akal dan logika semata.

Kita sampaikan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah:

آمَنْتُ بالله وَبِمَا جَاءَ عَنِ الله عَلَى مُرَادِ الله، وَآمَنْتُ بِرَسُولِ الله وَبِمَا جَاء عن رَسُولِ الله عَلَى مُرَادِ رَسُولِ الله

Aku beriman kepada Allah, dan beriman kepada seluruh yang datang dari Allah sesuai dengan kehendak Allah, keinginan Allah, maksud Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan seluruh yang datang dari Rasulullah, sesuai dengan apa yang diinginkan ya Rasulullah” 

Allah yang berfirman, tentu Allah yang lebih tahu maksud dari perkataan dan firmanNya. Rasul yang menyampaikan hadits, wahyu dari Allah, tentu Rasul yang lebih tahu apa yang disampaikannya. Kemudian disampaikan kepada para sahabat dan sahabat melihat, mendengar dan memahami apa yang disampaikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu cara beragama yang benar. Begitu konsep beragama yang benar. Tidak memaksakan akal dan logika kita untuk masuk ke dalam suatu perkara yang bukan ranah bagi akal tersebut. Itu memaksakan kehendak dan hawa nafsu kita, maka akal akan menjadi rusak. Akal akan menjadi sesat dan akan muncul dari pemikiran tersebut berbagai kebingungan, kebatilan, keraguan. Karena dia tidak pasrah dan berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Itu yang terjadi. Lihat bagaimana Ahlul Kalam mentakwil sifat-sifat Allah, bagaimana orang-orang Mu’tazilah, bagaimana orang-orang Ahlul Kalam yang mentakwil sifat Allah. Semuanya terjatuh dalam kebingungan, keraguan dan Islam yang ada didalam dada mereka tidaklah tegak secara kokoh karena tidak berlandaskan aqidah yang benar.

Oleh karena itu kata Imam Abu Jafar Ath-Thahawi rahimahullah, berliau melanjutkan pembahasan yang berkaitan dengan melihat Allah di dalam surga. Kita harus pasrah dan berserah diri kepada dalil-dalil yang menjelaskan tentang hal itu. Tidak boleh mengingkari, tidak boleh mentakwil, tidak boleh menerka-nerka, ini secara khusus tentang melihat Allah pada hari kiamat dan juga secara khusus tentang sifat-sifat Allah secara keseluruhan dan secara umum dalam beragama.

Kita beragama ingin selamat. Bukan sekedar hanya disematkan kepada kita sifat Islam atau nama Islam. Tapi kalau kita mengaku sebagai Muslim, tertulis di KTP Muslim, keluar dari keluarga Muslim, tapi beragama menyimpang, maka sesat. Sekedar hanya mendapatkan label Islam atau mengaku sebagai Islam, tertulis di KTPnya sebagai Islam dan juga dia dari keluarga Muslim, tidak menjamin dia selamat. Yang menjamin dia sebagai Muslim kemudian mengikuti petunjuk Allah, petunjuk RasulNya, dia pasrah dan berserah diri. Sesungguhnya tidak ada yang selamat didalam beragama kecuali orang-orang yang berserah diri, pasrah kepada Allah dan kepada RasulNya. Berserah diri kepada apa yang telah dijelaskan oleh Allah dan apa yang telah dijelaskan oleh Rasul. 

Al-Qur’an dan hadits kita terima sepenuhnya. Tidak boleh kita merekayasa, tidak boleh kita mentakwil dengan logika dan akal kita, tidak boleh kita menimbang Al-Qur’an dan hadits dengan akal kita. Lalu kalau cocok diterima dan bila tidak cocok ditinggalkan. Tidak boleh kita mengedepankan akal kita daripada dalil. Tapi akal harus mengikuti dalil.

Maksud berserah diri kepada Allah adalah menerima apa yang datang dari Allah secara kaffah, baik difahami makna dalil-dalil dan hadits-hadits tersebut secara utuh atau akal kita tidak bisa memahami dan mencerna apa yang disampaikan atau hikmah atau kandungan yang terdapat dalam dalil tersebut. Tapi kita yakin bahwa ini datang dari Allah, datang dari RasulNya, pasti benar. Karena keimanan kepada Allah tidak disyaratkan kita harus faham makna yang seutuhnya. Tapi yang dituntut dan yang diwajibkan adalah menerima sepenuhnya. Begitu datang firman Allah, terutama dalam pembahasan yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, hal yang ghaib, perihal alam barzakh, hari akhirat, tentang perkara-perkara tanda-tanda kiamat, hal yang ghaib yang akan muncul, maka semuanya kita terima sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Dan kita pasrah kepada keputusan Allah dan RasulNya. Kembali kepada Al-Qur’an, hadits dan tidak menolak, membantah, mengkritisi, merekayasa, menerka-nerka, mentakwil dengan akal dan logika kita. Karena itu bukanlah sifat orang-orang yang beriman.

Orang-orang yang beriman, mereka pasrah, berserah diri kepada Allah. Dia tahu diri, dia Abdun, harus taat pada Allah yang menciptakan dia. Dia adalah umat Rasulullah, harus taat kepada RasulNya. Dia mengaku sebagai umat Rasulullah, bila datang perintahnya tidak diamalkan, datang larangannya tidak ditinggalkan, datang hadits-haditsnya tidak diterima dengan alasan tidak sesuai dengan akal. Atau berusaha untuk merekayasa, menerka-nerka,mentakwil agar dicocok-cocokan dengan keyakinan dia, pemikirannya, pemahamannya. Ini pada hakikatnya bukanlah seorang Mukmin yang sejati. Bahkan dikhawatirkan dengan cara yang seperti itu dia akan bisa keluar dari Islam. Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an. Mereka menyerahkan perkara agama ini kepada Allah. Mereka menerima Al-Qur’an dan hadits, mereka berusaha memahami dengan akal yang sehat apa yang dimaksud oleh Allah dan RasulNya.

Dan apa yang tidak bisa dicerna oleh akal mereka, mereka yakini bahwa ini pasti benar. Kendati akal dan pemikirannya tidak memahami hal itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٦٥﴾

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa`[4]: 65)

Simak menit ke – 20:32

Simak Penjelasan Lengkapnya dan Download MP3 Kajian Tentang Akal Harus Mengikuti Dalil – Syarah Aqidah Thahawiyah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46335-akal-harus-mengikuti-dalil/